Tanggal 10 November adalah hari bersejarah bagi masyarakat Indonesia. Sudah berapa lama kita menginjakkan kaki di bumi pertiwi. Maka dengan semangat hari pahlawan inilah kita patut mempertanyakan kembali apa yang sebenarnya kita persembahkan, apa yang seharusnya kita perjuangkan untuk Indonesia.
Indonesia tidak butuh seorang yang pandai mengkritik namun
seseorang yang memiliki jiwa perubahan dan selalu melihat kedepan. Kita sudah
basi mengatakan kesalahan orang lain bahkan pemerintah, cukup menjawab satu
pertanyaan besar pada dirimu sendiri “kamu sudah bisa apa?”.
Berbicara tentang kesalahan, seorang guru sedang menulis
jawaban perhitungan pernah dengan sengaja menulis jawaban “salah” di papan
tulis, diantara 9 jawaban lain yang “benar”, sontak saat itu juga para muridnya
pun tertawa dan menyalahkan guru karena tidak bisa menjawab dengan benar, namun
gurunya hanya tersenyum lalu berkata “seperti itulah hidup, kita sering fokus dengan
satu kesalahan orang, melupakan kebaikan – kebaikan lain yang sebenarnya lebih
mendominasi”.
Perkara benar dan salah memang bersifat subyektif, karena
cara pandang kita berbeda menyebabkan hasil dari pemikiran pun menghasilkan
pandangan yang berseberangan. Sebagai contohnya, fakta bahwa ojek konvensional
akan tergantikan ojek online, siapakah yang salah? Apakah kita bisa menyalahkan
teknologi, atau menyalahkan pemerintah karena tidak bisa tanggap mengayomi
kedua belah pihak.
Ramai di sosmed
Ibarat benang kusut masalah benar dan salah selalu
menjadikan kita sebagai oposisi biner (binary
opposition), jika tidak A pastilah B. Maka dengan semangat hari
pahlawan, kita sedikit kilas balik mengenai apa yang telah terjadi di
Indonesia. Redam terlebih dahulu perkara “salah benar” sejenak menundukkan ego
masing – masing.
Beberapa waktu lalu, Perkara klaim budaya selalu menjadi
perbincangan yang hangat ditemani dengan segelas kopi, sejak beberapa waktu
lalu kita selalu dihebohkan berita mengenai pengakuan beberapa hasil kekayaan
budaya kita diserobot Negara tetangga. Sebagai masyarakat (yang baik) kita
selalu riuh dengan banyak caci maki serta banyak petisi – petisi meminta
dukungan banyak pihak.
Bahkan dengan terang terangan mengatakan hujatan kebencian
terhadap Negara yang “katanya” mengakui warisan budaya kita, sebut saja reog, angklung,
lagu daerah dan beberapa kesenian lainnya. Perkataan yang menggelitik datang dari
bapak disaat saya menceritakan bahwa budaya kita diakui Negara tetangga, beliau
dengan santainya mengatakan bahwa “hanya diakui kan! Bahkan kita pun masih bisa
bermain kesenian itu, tidak dilarang disini”
Memang bapak tidak memiliki ilmu akademik yang tinggi, namun
saya sedikit bisa menangkap maksudnya, diakui atau tidak yang jadi masalah
adalah bukan tentang budaya-nya tapi bagaimana peran kita untuk melestarikannya,
karena akan menjadi lucu jika pertunjukan budaya daerah tapi masyarakat daerah
itupun kurang mengetahui budayanya sendiri. Tapi generasi kekinian malah ikut emosi
di sosmed, menghujat Negara tetangga, menulis banyak petisi dan membagikannya
secara rajin, simpel saja sebenarnya hanya tidak terima atas perilaku Negara tetangga.
Benar? bukan murni atas dasar cinta,
karena cinta adalah perbuatan, perkataan dan janji manis hanyalah omong kosong
belaka.
Acara budaya selalu
sepi
Jika benar karena cinta, hadirilah beberapa acaranya, ikut
serta melestarikan dengan berlatih, mengenalkan kepada buah hati atau kepada
generasi kekinian tentang kebudayaan Indonesia, jangan cuma ngoceh di sosmed.
Kemarin di kampus ada dua acara sekaligus bersamaan,
yang satu diadakan oleh BEM Universitas Negeri Malang (BEM
U) yaitu acara bertajuk festival nusantara 2017 acara tersebut dimeriahkan oleh
persembahan tarian dari beberapa forda (forum daerah) mahasiswa asal dari
kampus UM. Acaranya di depan graha rektorat UM, gratis! (bahkan parkir gratis)
Dan acara satunya datang dari BEM FE Universitas Negeri
Malang yaitu GKM (Gebyar Kreativitas Mahasiswa) dimeriahkan isyana saraswati di gedung graha
cakrawala dan membayar 50K untuk setiap tiket masuknya (belum termasuk parkir)
*bisa di bayangkan lebih ramai mana? (oke jawab dalam hati
aja sekalian di elus – elus *nelangsa)
-Flashback: Bahkan
di hari tari sedunia yang bertepatan dengan tanggal 29 April 2017, UKM sanggar
tari karawitan Universitas Negeri Malang mengadakan acara 7 jam menari di alun
– alun merdeka kota Malang, acara gratis bahkan tempatnya pun luas. Namun
sangat disayangkan, masyarakat yang datang hanya sedikit jika dibandingkan luas
alun – alun. Bisa dibayangkan disaat mendung (teduh) masyarakat merapat ke
tengah acara di depan panggung, habis gelap terbitlah terang, saat panas
kembali menyengat (buyar deh).
Dengan semangat 10
November inilah momen yang tepat untuk merenungkan kembali arti “bangga budaya”
tersebut dengan menjadikan prioritas pilihan, dan semoga “cinta” itu bisa
terbukti benar adanya.
*salam ^_^
Bagikan
Cinta (Budaya) Adalah Perbuatan, Perkataan (Sosmed) Hanyalah Omong Kosong
4/
5
Oleh
Unknown