Waktu subuh terasa dingin di desa ini, letak di lereng pegunungan membuat suhu amat tidak bersahabat untuk bapak tua, bahkan mengambil air wudhu dengan air hangat yang tersimpan dalam termos sejak kemarin sore. Dingin yang menggigit tak menghalangi tekad bapak tua menghabiskan sepertiga malam terakhir dalam sujudnya di atas sajadah, umurnya sudah senja, wajah keriput, tangan bergetar tak perkasa lagi. Bersujud, memohon, berdo’a, berharap matahari terbit membawa berkah, mendatangkan rezeky yang halal untuk keluarga kecilnya.
Bapak tua tidak sendiri pagi ini, Sang istri sibuk
memepersiapkan dagangan sayur-mayur yang dipetik kemarin sore, memilah-milah,
mengikat sayur tiap satu genggam dengan setulus hati tanpa rasa terbebani,
sesekali melihat jam dinding berharap subuh belum juga sampai waktunya. Hari
pasaran pahing dan kliwon sang istri selalu mendapat
kesibukan baru, harapan untuk mendapatkan sesuap nasi untuk hari esok.
Sebelum berangkat, sang istri setia menemani bapak tua
bersama menunaikan sholat di masjid. Perbincangan kecil mengiringi langkahnya,
selalu senter kecil menemani, menuntun dalam gelapnya jalan. Setelah selesai
menunaikan kewajibannya, bapak tua tetap berada dalam masjid menghabiskan
waktunya membaca kitab suci. Sang istri pamit berangkat dengan mengecup tangan
bapak tua.
Menggendong barang bawaan menuju pasar bukanlah hal ringan,
bahkan bisa dibilang hal ini adalah pekerjaan lelaki, namun sang istri
memaklumi bapak tua sudah mencapai batasnya, tak kuat dengan hawa dingin,
daripada mendatangkan sakit, sang istri dengan rela hati menjalankan tugasnya.
Berjalan dua kilometer tidaklah membuat mengeluh, wajah sayu tertunduk
memperlihatkan dengan jelas kecantikan masa mudanya telah memudar, tertutup
dengan kerasnya perjalanan hidup penuh perjuangan.
Menunggu pembeli membutuhkan kesabaran berlipat, belum lagi
ada penawaran yang melebihi harga terendah. Kesabaran benar teruji demi
mengumpulkan beberapa rupiah sekedar membeli keperluan dapur dan perlengkapan
rumah lainnya. Merah merona langit di ufuk timur, semakin tampak banyak penjual
dan pembeli, bertransaksi hasil panen sayur-mayur. Sang istri telah selesai
menjual barang dagangannya, bertukar menjadi selembaran kertas bernilai guna
membeli keperluannya.
***
Mentari pagi telah memperlihatkan dirinya, lembaran kertas
baru telah dimulai, sebuah harapan “semoga hari ini lebih baik dari hari
kemarin” menambah semangat kepada petani di desa lereng gunung itu. Bapak tua
telah siap melangkahkan kaki bersama pacul di pundaknya, senyum tipis
tergambar dalam wajahnya tak kalah semangat, meski usia telah senja namun
semangat tak boleh lekang oleh waktu.
Duduk di atas gubuk kecilnya, mengayunkan kaki, melepas
penat setelah bergulat dengan tanah, menata agar bisa ditanam sayur-mayur.
Sambil menunggu sang istri, bapak tua memandang jauh padi yang telah menguning,
bersyukur kepada tuhan, atas karunia yang telah terlimpahkan pada negeri ini,
tanah yang subur, air jernih yang mengalir menumbuhkan segala tanaman, gemah
ripah loh jinawi toto tentrem karto raharjo.
Sang istri yang dinanti pun tiba, membawa sarapan pagi dari
pasar. Kebersamaan menikmati hidup dalam kekurangan menambah rasa syukur kepada
Tuhan. Tak peduli apa kata orang, bapak tua amat mensyukuri tanah kelahirannya,
walaupun hidup dalam kesederhanaan, tanah ini lah yang membawa dua buah hati
kesayangannya mencapai perguruan tinggi, merantau menimba ilmu, menjadi
kebanggaan bapak tua dan sang istri.
Setelah selesai makan bersama, keduanya tampak berseda gurau
seperti pengantin baru, membincangkan kedua buah hatinya telah lama tak pulang,
menambah kenangan tesendiri yang tak terganti. Bapak tua selalu bercerita
tentang indahnya hidup, hidup seperti sebuah padi, semakin tua semakin
merendahkan hati, menikmati apa yang ada, bukan mengeluh tentang apa yang belum
terjadi. Terimakasih tanah air tercinta, engkau bawa sejuta keindahan
bersamamu, keindahan bumi katulistiwa, terima kasih INDONESIA.
Bagikan
Contoh Artikel Kebangsaan - Terimakasih Indonesia
4/
5
Oleh
Mansur Hidayat