Jumat, 09 Februari 2018

Menjadi Pegawai atau Berwirsausaha? Sekolah tinggi ujungnya cari kerja


Setelah lama tak menulis, kali ini saya mencoba kembali mengulik permasalahan kompleks yang dihadapi hampir semua orang terutama mereka yang memakan bangku sekolah. Tak perlu mengherankan lagi, banyak media menyoroti problematika mengenai “sulitnya cari kerja”, mulai dari jumlah terus meningkat setiap tahun sampai rincian jenis sekolah terakhir yang mereka tempuh.
Lalu muncul pertanyaan, siapakah yang paling berhak disalahkan?


1.       guru
Guru sebagai motor pengerak perubahan, memiliki peran sangat besar, namun bukan lantas menyalahkan guru mengenai kualitas lulusan yang tak sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Bisa jadi guru hanya melaksanakan perintah dari kitab yang bernama kurikulum pendidikan. Di sisi lain para guru juga memiliki keluarga, memiliki kesibukan sendiri.

Pada sudut pandang yang berbeda, perlu dipertanyakan mengenai kualitas guru, apakah memang sudah sesuai dengan kualifikasi. Lebih penting juga mengenai niat para guru dengan tulus ikhlas mengajar peserta didiknya. kita mengetahui fakta di lapangan bahwa masih banyak guru yang menyiakan waktu mengajarnya hanya untuk memberi tugas kepada siswanya.

Membahas tentang kurikulum, Parahnya di buat oleh orang yang tidak secara langsung terjun dilapangan, mereka membuat rumusan atas dasar nilai-nilai dikertas. Pendidikan terbaik di dunia tepatnya findlandia mereka bisa menjadi Negara dengan kualitas pendidikan terbaik pun nyatanya tidak mengenal kurikulum, apa yang di ajarkan diserahkan kepada guru yang bersangkutan, tanpa terikat dengan administrasi yang memusingkan.

2.       Siswa
Peserta didik saat ini bisa jauh lebih “pintar” dari gurunya, maksud pintar disini adalah mengetahui, pada era milenials seperti sekarang ini, teknologi informasi jauh lebih cepat terkoneksi melalui telepon genggam. Apapun yang terjadi di ujung dunia dalam sekejab bisa diketahui. Hal tersebut lah yang terkadang membuat siswa jenuh berada di kelas, mereka lebih asik pada dunia mereka.

Belum lagi etika “siswa jaman now” yang katanya minim moral dengan dalih “kebanyakan micin” menjadi sorotan masyarakat mengenai bobroknya karakter siswa kekinian. Tentu kita masih ingat banyak sekali kejadian memilukan siswa berani menentang gurunya. Lalu dimanakah rasa hormat mereka kepada guru?

Siswa jaman now juga memiliki tingkat “mimpi” yang rendah, mereka labil dan mudah terbawa arus. Ketika ditanya apa cita-cita mereka (dirangkum dari berbagai media) menyebutkan menjadi youtuber, selebgram, reuploader? Menjadi salah satu fenomena yang amat disayangkan. Walau kreatifitas saat ini memang mudah di expose melalui media sosial, tapi sebaiknya medsos hanya dijadikan sebagai alat promosi, bukan mata pencaharian utama.

________________________
Dua fariabel penting pendidikan diatas memang tak bisa dipisahkan, dimana keduanya saling membutuhkan dan bersinergi.

Berbicara masalah pengangguran, tak bisa memandang dari segi pemikiran sempit saja. Banyak faktor makro yang mempengaruhi. Banyak yang bilang (dengan mudahnya) “kalau sulit cari kerja, kenapa ndak buat pekerjaan sendiri” sekilas memang benar, tapi skill dan jiwa berwirausaha apa sudah terbentuk di kalangan siswa?

Dalam pelajaran kewirausahaan siswa memang di ajari menjadi seorang wirausaha, tapi masalahnya kebanyakan guru hanya mengajar sebatas teori, pun gurunya tidak seorang wirausaha (kebanyakan). Lantas apa yang terserap dalam benak para siswa?

Maka jangan salah jika kebanyakan lulusan berfikir mencari kerja bukan mencari pekerja

Tak sedikit pula dari mereka memilih melanjutkan studi untuk jenjang yang lebih tinggi (kuliah) dengan harapan terbuka nya lapangan pekerjaan yang lebih luas serta kesempatan untuk mendapatkan gaji yang lebih besar.

Benarkah demikian?

Berapa lulusan sarjana Indonesia tiap tahun? Berapa ribu orang diwisuda setiap bulan? Lantas kemanakah mereka pergi, terbuang begitu saja dari “proyek” pendidikan?.
Lalu kenapa lulusan sarjana tidak menjadi wirausaha saja? hmmm

Ada percakapan menarik dari seorang pegawai dengan wartawan yang kebetulan menarik saya ikuti, beliau mengatakan

Kalau mau jadi wirausaha jangan kuliah, memang benar dengan kuliah kita semakin kritis dan memiliki tingkat analisis di atas siswa menengah atas, tapi itu masalahnya, semakin seseorang tahu tentang kelemahannya (analisis SWOT) semakin takut pula mereka akan bertindak (action). Coba bandingkan dengan siswa menengah atas mereka tidak memiliki tingkat analisis seperti sarjana, mereka tidak terlalu memikirkan kelemahan dan ancaman, yang mereka tahu hanyalah “gagal coba lagi”

_________________

Oke guys, mungkin itu saja, bagaimana pendapat kalian silahkan komen di bawah ^_^

Bagikan

Jangan lewatkan

Menjadi Pegawai atau Berwirsausaha? Sekolah tinggi ujungnya cari kerja
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.