Setelah lama tak menulis, kali ini saya mencoba kembali
mengulik permasalahan kompleks yang dihadapi hampir semua orang terutama mereka
yang memakan bangku sekolah. Tak perlu mengherankan lagi, banyak media
menyoroti problematika mengenai “sulitnya cari kerja”, mulai dari jumlah terus
meningkat setiap tahun sampai rincian jenis sekolah terakhir yang mereka
tempuh.
Lalu muncul pertanyaan, siapakah yang paling berhak
disalahkan?
1. guru
Guru sebagai motor pengerak perubahan, memiliki peran sangat
besar, namun bukan lantas menyalahkan guru mengenai kualitas lulusan yang tak
sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Bisa jadi guru hanya melaksanakan
perintah dari kitab yang bernama kurikulum pendidikan. Di sisi lain para guru
juga memiliki keluarga, memiliki kesibukan sendiri.
Pada sudut pandang yang berbeda, perlu dipertanyakan mengenai
kualitas guru, apakah memang sudah sesuai dengan kualifikasi. Lebih penting
juga mengenai niat para guru dengan tulus ikhlas mengajar peserta didiknya. kita
mengetahui fakta di lapangan bahwa masih banyak guru yang menyiakan waktu mengajarnya
hanya untuk memberi tugas kepada siswanya.
Membahas tentang kurikulum, Parahnya di buat oleh orang yang
tidak secara langsung terjun dilapangan, mereka membuat rumusan atas dasar
nilai-nilai dikertas. Pendidikan terbaik di dunia tepatnya findlandia mereka
bisa menjadi Negara dengan kualitas pendidikan terbaik pun nyatanya tidak
mengenal kurikulum, apa yang di ajarkan diserahkan kepada guru yang
bersangkutan, tanpa terikat dengan administrasi yang memusingkan.
2. Siswa
Peserta didik saat ini bisa jauh lebih “pintar” dari gurunya,
maksud pintar disini adalah mengetahui, pada era milenials seperti sekarang
ini, teknologi informasi jauh lebih cepat terkoneksi melalui telepon genggam. Apapun
yang terjadi di ujung dunia dalam sekejab bisa diketahui. Hal tersebut lah yang
terkadang membuat siswa jenuh berada di kelas, mereka lebih asik pada dunia
mereka.
Belum lagi etika “siswa jaman now” yang katanya minim moral
dengan dalih “kebanyakan micin” menjadi sorotan masyarakat mengenai bobroknya
karakter siswa kekinian. Tentu kita masih ingat banyak sekali kejadian
memilukan siswa berani menentang gurunya. Lalu dimanakah rasa hormat mereka
kepada guru?
Siswa jaman now juga memiliki tingkat “mimpi” yang rendah,
mereka labil dan mudah terbawa arus. Ketika ditanya apa cita-cita mereka (dirangkum
dari berbagai media) menyebutkan menjadi youtuber, selebgram, reuploader? Menjadi
salah satu fenomena yang amat disayangkan. Walau kreatifitas saat ini memang
mudah di expose melalui media sosial, tapi sebaiknya medsos hanya dijadikan
sebagai alat promosi, bukan mata pencaharian utama.
________________________
Dua fariabel penting pendidikan diatas memang tak bisa
dipisahkan, dimana keduanya saling membutuhkan dan bersinergi.
Berbicara masalah pengangguran, tak bisa memandang dari segi
pemikiran sempit saja. Banyak faktor makro yang mempengaruhi. Banyak yang
bilang (dengan mudahnya) “kalau sulit cari kerja, kenapa ndak buat pekerjaan
sendiri” sekilas memang benar, tapi skill dan jiwa berwirausaha apa sudah
terbentuk di kalangan siswa?
Dalam pelajaran kewirausahaan siswa memang di ajari menjadi
seorang wirausaha, tapi masalahnya kebanyakan guru hanya mengajar sebatas
teori, pun gurunya tidak seorang wirausaha (kebanyakan). Lantas apa yang
terserap dalam benak para siswa?
Maka jangan salah jika kebanyakan
lulusan berfikir mencari kerja bukan mencari pekerja
Tak sedikit pula dari mereka memilih melanjutkan studi untuk
jenjang yang lebih tinggi (kuliah) dengan harapan terbuka nya lapangan
pekerjaan yang lebih luas serta kesempatan untuk mendapatkan gaji yang lebih
besar.
Benarkah demikian?
Berapa lulusan sarjana Indonesia tiap tahun? Berapa ribu orang
diwisuda setiap bulan? Lantas kemanakah mereka pergi, terbuang begitu saja dari
“proyek” pendidikan?.
Lalu kenapa lulusan sarjana tidak menjadi wirausaha saja?
hmmm
Ada percakapan menarik dari seorang pegawai dengan wartawan yang
kebetulan menarik saya ikuti, beliau mengatakan
Kalau mau jadi wirausaha jangan kuliah, memang benar dengan
kuliah kita semakin kritis dan memiliki tingkat analisis di atas siswa menengah
atas, tapi itu masalahnya, semakin seseorang tahu tentang kelemahannya (analisis
SWOT) semakin takut pula mereka akan bertindak (action). Coba bandingkan dengan
siswa menengah atas mereka tidak memiliki tingkat analisis seperti sarjana,
mereka tidak terlalu memikirkan kelemahan dan ancaman, yang mereka tahu
hanyalah “gagal coba lagi”
_________________
Oke guys, mungkin itu saja, bagaimana pendapat kalian
silahkan komen di bawah ^_^
Bagikan
Menjadi Pegawai atau Berwirsausaha? Sekolah tinggi ujungnya cari kerja
4/
5
Oleh
Mansur Hidayat