Selasa, 31 Oktober 2017

Ada apa Dengan Calon Menantu Seorang Petani? (pemuda zaman now)


Menjadi petani adalah pilihan terakhir yang mungkin tergambar dalam benak pemuda Indonesia saat ini (pemuda zaman now) alih-alih meneruskan perjuangan orang tua, mereka memilih merantau di kota besar untuk mencari pekerjaan lebih baik. Memangnya dengan bertani tidak lebih baik?

Pemuda zaman now lebih merasa percaya diri menjadi seorang penjaga villa, pelayan restoran, kasir retail modern dari pada menggantungkan nasibnya terhadap hasil pertanian, sehingga tak bisa dipungkiri menurut survey yang dilakukan LIPI (Pusat Ilmu Pengetahuan Indonesia) beberapa waktu lalu, di daerah jawa tengah rata-rata usia petani adalah diatas 50 tahun. Lah pemudanya kemana?

Regenerasi sama sekali tidak terbangun, motivasi menjadi seorang petani tidak terbentuk pada jiwa muda. Bahkan saya tekankan lagi, lulusan IPB (Institut Pertanian Bogor) apakah lalu ingin bergelut dalam bidang pertanian secara langsung. Mungkin hanya dalam lingkup Dinas pertanian dan lembaga pemberdayaan masyarakat. Lagi-lagi untuk terjun langsung menjadi seorang petani merupakan pilihan terakhir “jika” tidak mendapatkan pekerjaan di kota.

Tidak mengherankan saat ini banyak pemerhati sosial tengah merasakan ada semacam ancaman kepunahan pertanian Indonesia, memang terkesan berlebihan. Salah satu alasan kenapa pemuda zaman now tidak ingin menjadi petani karena identik dengan kemiskinan, ndeso, dan plosok. Sama sekali tidak ada menariknya bagi kaum milenial.

Masalah Internal Petani
Pertama, jiwa bertani tidak diturunkan pada anak. Sering sekali dijumpai sebagai seorang petani ataupun buruh tani merasakan beratnya kehidupan mereka, “menjadi petani itu susah le, kamu sekolah yang pinter biar jadi PNS” kesannya menjadi petani adalah orang rendahan.

Banyak dijumpai di beberapa daerah, para petani saat ini membutuhkan buruh tani seorang pemuda jarang sekali ditemukan. Untuk menggarap sawah saja mencari pekerja (buruh) sulitnya minta ampun, kalaupun ada hanyalah para kumpulan orang-orang sepuh, yang seharusnya sudah pensiun.

Kedua, produksi dan pendapatan tidak seimbang menyebabkan muncul istilah “mau tidak mau”. Menjadi petani sebagian orang mengatakan “untung-untungan” jika saat harga naik panen, mereka bisa mendapatkan hasil lumayan begitupula sebaliknya. Padahal harga hanyalah dimanipulasi pelaku pasar, sebagai petani bisa apa, mereka hanya pasrah “mau tidak mau” menjualnya dengan harga murah. Karena tidak semua hasil pertanian bisa ditimbun.

Ketiga, bibit dan pupuk kian mahal mengakibatkan petani menambahkan pundi-pundi uang mereka hanya untuk mengolah lahan mereka kembali. Subsidi pemerintah juga tidak sampai sektor paling membutuhkan, dari atas memang banyak bantuan berupa pupuk dan bibit tanaman, sampai petani mereka disuruh bayar untuk mengambil bantuan tersebut, dengan alasan “administrasi”.

Lahan pertanian kian menyusut
Tak bisa dipungkiri, lahan pertanian kian memprihatinkan. Kita boleh mengapresiasi kinerja pemerintahan dengan pembangunan sampai ke daerah-daerah, namun hal yang perlu diperhatikan adalah lahan yang digunakan sebagai pijakan bangunan tersebut adalah sawah berhektar-hektar. Sempat membaca artikel di beberapa daerah “petani mendadak menjadi miliarder” menjadi headline sebuah berita di berbagai media.

Mereka patut berbangga diri memiliki uang banyak, tapi lahan mereka juga musnah tidak memiliki lagi asset rill berupa lahan pertanian. Seperti ungkapan ketua Komunitas Pengusaha Padi dan Beras (KPPB) Endro Sulistyono “lahan pertanian semakin berkurang akibat pembangunan. Padahal banyak lahan bagus untuk pertanian tapi dialih fungsi untuk industry”.

Pemuda bertani, kenapa tidak?
Lahan yang terbatas sebenarnya bisa diatasi dengan melakukan kegiatan usaha tani system aquaponik, hidroponik, tabulampot (tanam buah dalam pot) dan tasalamkar (tanam sayur dalam karung) merupakan salah satu solusi dengan keterbatasan lahan saat ini.

Limbah pertanian jika ditangani dengan ilmu yang memadai juga bisa dimanfaatkan untuk “mendulang” pundi-pundi rupiah. Seperti menjadikannya pupuk organic, pakan ternak dan energi alternative. Namun juga perlu ilmu dan peralatan yang memadai, maka dari itu kalian sebagai pemuda yang memiliki inovasi dan ambisi masih fresh seharusnya bisa memanfaatkan peluang tersebut.

Menjadi petani di desa juga tidak selalu buruk. Hal tersebut juga disadari berbagai pengamat sosial, tingkat stress pekerja di perkotaan jauh lebih tinggi di desa, walaupun terkesan ndeso mereka jauh lebih menikmati hidup, berkumpul dengan keluarga daripada menunggu kemacetan di kota-kota besar.

Dalam era teknologi dewasa ini peluang pertanian merupakan lirikan manis bernilai emas. Bukan sebuah rahasia umum prospek pekerjaan tani merupakan aspek menjanjikan. Seorang pemuda asal bandung Charlie Tjendapati mampu menepis keraguan menjadi petani identik dengan kemiskinan, dia hanya menekuni usaha kangkung hidroponik pada lahan yang tidak begitu luas mampu meraih puluhan juta rupiah dari bertani tersebut. Contoh lain, Safrigayang petani muda berasal dari dataran tinggi Goya Aceh tengah juga bisa membuktikan dengan bertani bisa meraup jutaan rupiah dari usaha kentang dan Kol organiknya.

Saya contohkan pemuda karena hanya merekalah yang mampu memiliki ilmu, jaringan dan informasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan lahan pertanian. Berkaca pada kesuksesan banyak pemuda di berbagai daerah, seharusnya bisa memotivasi pemuda zaman now untuk tergerak menjadi deretan petani muda sukses selanjutnya.

______________________________
Akhir kata, Indonesia bisa swasembada pangan jika semua pihak bersinergi bahu-membahu meningkatkan perkembangan sektor pertanian, terlebih kamu sebagai PEMUDA.

#salamLiterasi

#salamAksara

Bagikan

Jangan lewatkan

Ada apa Dengan Calon Menantu Seorang Petani? (pemuda zaman now)
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.