Menjadi petani adalah pilihan terakhir yang mungkin tergambar dalam benak pemuda Indonesia saat ini (pemuda zaman now) alih-alih meneruskan perjuangan orang tua, mereka memilih merantau di kota besar untuk mencari pekerjaan lebih baik. Memangnya dengan bertani tidak lebih baik?
Pemuda zaman now lebih merasa percaya diri menjadi seorang
penjaga villa, pelayan restoran, kasir retail modern dari pada menggantungkan
nasibnya terhadap hasil pertanian, sehingga tak bisa dipungkiri menurut survey
yang dilakukan LIPI (Pusat Ilmu Pengetahuan Indonesia) beberapa waktu lalu, di
daerah jawa tengah rata-rata usia petani adalah diatas 50 tahun. Lah pemudanya
kemana?
Regenerasi sama sekali tidak terbangun, motivasi menjadi
seorang petani tidak terbentuk pada jiwa muda. Bahkan saya tekankan lagi,
lulusan IPB (Institut Pertanian Bogor) apakah lalu ingin bergelut dalam bidang
pertanian secara langsung. Mungkin hanya dalam lingkup Dinas pertanian dan
lembaga pemberdayaan masyarakat. Lagi-lagi untuk terjun langsung menjadi
seorang petani merupakan pilihan terakhir “jika” tidak mendapatkan pekerjaan di
kota.
Tidak mengherankan saat ini banyak pemerhati sosial tengah
merasakan ada semacam ancaman kepunahan pertanian Indonesia, memang terkesan
berlebihan. Salah satu alasan kenapa pemuda zaman now tidak ingin menjadi
petani karena identik dengan kemiskinan, ndeso,
dan plosok. Sama sekali tidak ada
menariknya bagi kaum milenial.
Masalah Internal
Petani
Pertama, jiwa
bertani tidak diturunkan pada anak. Sering sekali dijumpai sebagai seorang
petani ataupun buruh tani merasakan beratnya kehidupan mereka, “menjadi petani itu susah le, kamu sekolah
yang pinter biar jadi PNS” kesannya menjadi petani adalah orang rendahan.
Banyak dijumpai di beberapa daerah, para petani saat ini
membutuhkan buruh tani seorang pemuda jarang sekali ditemukan. Untuk menggarap
sawah saja mencari pekerja (buruh) sulitnya minta ampun, kalaupun ada hanyalah
para kumpulan orang-orang sepuh, yang seharusnya sudah pensiun.
Kedua, produksi
dan pendapatan tidak seimbang menyebabkan muncul istilah “mau tidak mau”.
Menjadi petani sebagian orang mengatakan “untung-untungan” jika saat harga naik
panen, mereka bisa mendapatkan hasil lumayan begitupula sebaliknya. Padahal
harga hanyalah dimanipulasi pelaku pasar, sebagai petani bisa apa, mereka hanya
pasrah “mau tidak mau” menjualnya dengan harga murah. Karena tidak semua hasil
pertanian bisa ditimbun.
Ketiga, bibit dan
pupuk kian mahal mengakibatkan petani menambahkan pundi-pundi uang mereka hanya
untuk mengolah lahan mereka kembali. Subsidi pemerintah juga tidak sampai
sektor paling membutuhkan, dari atas memang banyak bantuan berupa pupuk dan
bibit tanaman, sampai petani mereka disuruh bayar untuk mengambil bantuan
tersebut, dengan alasan “administrasi”.
Lahan pertanian kian
menyusut
Tak bisa dipungkiri, lahan pertanian kian memprihatinkan.
Kita boleh mengapresiasi kinerja pemerintahan dengan pembangunan sampai ke
daerah-daerah, namun hal yang perlu diperhatikan adalah lahan yang digunakan
sebagai pijakan bangunan tersebut adalah sawah berhektar-hektar. Sempat membaca
artikel di beberapa daerah “petani mendadak menjadi miliarder” menjadi headline
sebuah berita di berbagai media.
Mereka patut berbangga diri memiliki uang banyak, tapi lahan
mereka juga musnah tidak memiliki lagi asset rill berupa lahan pertanian.
Seperti ungkapan ketua Komunitas Pengusaha Padi dan Beras (KPPB) Endro
Sulistyono “lahan pertanian semakin berkurang akibat pembangunan. Padahal
banyak lahan bagus untuk pertanian tapi dialih fungsi untuk industry”.
Pemuda bertani,
kenapa tidak?
Lahan yang terbatas sebenarnya bisa diatasi dengan melakukan
kegiatan usaha tani system aquaponik,
hidroponik, tabulampot (tanam buah dalam pot) dan tasalamkar (tanam
sayur dalam karung) merupakan salah satu solusi dengan keterbatasan lahan saat
ini.
Limbah pertanian jika ditangani dengan ilmu yang memadai
juga bisa dimanfaatkan untuk “mendulang” pundi-pundi rupiah. Seperti menjadikannya
pupuk organic, pakan ternak dan energi alternative. Namun juga perlu ilmu dan
peralatan yang memadai, maka dari itu kalian sebagai pemuda yang memiliki
inovasi dan ambisi masih fresh seharusnya bisa memanfaatkan peluang tersebut.
Menjadi petani di desa juga tidak selalu buruk. Hal tersebut
juga disadari berbagai pengamat sosial, tingkat stress pekerja di perkotaan
jauh lebih tinggi di desa, walaupun terkesan ndeso mereka jauh lebih menikmati hidup, berkumpul dengan keluarga
daripada menunggu kemacetan di kota-kota besar.
Dalam era teknologi dewasa ini peluang pertanian merupakan
lirikan manis bernilai emas. Bukan sebuah rahasia umum prospek pekerjaan tani
merupakan aspek menjanjikan. Seorang pemuda asal bandung Charlie Tjendapati mampu menepis keraguan menjadi petani identik
dengan kemiskinan, dia hanya menekuni usaha kangkung hidroponik pada lahan yang
tidak begitu luas mampu meraih puluhan juta rupiah dari bertani tersebut.
Contoh lain, Safrigayang petani muda
berasal dari dataran tinggi Goya Aceh tengah juga bisa membuktikan dengan
bertani bisa meraup jutaan rupiah dari usaha kentang dan Kol organiknya.
Saya contohkan pemuda karena hanya merekalah yang mampu
memiliki ilmu, jaringan dan informasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan lahan
pertanian. Berkaca pada kesuksesan banyak pemuda di berbagai daerah, seharusnya
bisa memotivasi pemuda zaman now untuk tergerak menjadi deretan petani muda
sukses selanjutnya.
______________________________
Akhir kata, Indonesia bisa swasembada pangan jika semua
pihak bersinergi bahu-membahu meningkatkan perkembangan sektor pertanian,
terlebih kamu sebagai PEMUDA.
#salamLiterasi
#salamAksara
Bagikan
Ada apa Dengan Calon Menantu Seorang Petani? (pemuda zaman now)
4/
5
Oleh
Mansur Hidayat